I.
Pendahuluan
Masyarakat
Jawa merupakan orang-orang yang bertempat tinggal, bergaul, dan berkembang di
pulau Jawa yang kemudian mengembangkan tradisi dan kebudayaan yang khas dan
berkarakteristik Jawa. Jauh
sebelum datangnya agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan
Buddha, bangsa Indonesia menganut kepercayaan kepada Tuhan (animisme
dan dinamisme). Kepercayaan inilah yang oleh Karen Armstrong (2002) disebut
monoteisme primitif, percaya kepada Tuhan yang Esa.
Menurut mereka, setiap materi memiliki kesamaan sifat
dengan manusia. Sebagai contoh, api memiliki sifat yang sama dengan manusia.
Api memiliki kekuatan untuk membunuh atau melenyapkan apapun dengan panasnya
sebagaimana manusia mampu membunuh binatang dengan kekuatan tangannya. Karena
itulah, api mempunyai ruh. Bagi manusia primitif, menyembah api adalah proses
menghormati keberadaan api itu sendiri. Penyembahan tersebut dilakukan agar tidak
terjadi kebakaran seperti kebakaran hutan, sedangkan kebakaran diyakini sebagai
bentuk kemurkaan api. Selanjutnya, berkembanglah paham banyak tuhan, banyak
roh, banyak dewa, atau banyak kekuatan ghaib. Setiap kawasan bumi, hutan,
sungai, laut, atau bahkan ruang angkasa, semuanya diyakini memiliki kekuatan
tersendiri
Animisme berkembang lebih awal daripada dinamisme.
Animisme menitik beratkan pada perkembangan ruh manusia. Mulai dari sini,
manusia primitif menyimpulkan bahwa setiap materi yang memiliki sifat yang
sama, maka memiliki substansi yang sama pula. Jika manusia mati dan hidup,
tidur dan terjaga, kuat dan lemah, diam dan bergerak, kemudian manusia diyakini
memiliki ruh, maka pepohonan, binatang, laut, api, matahari, bulan, dan
materi-materi lainnya pun memiliki ruh seperti manusia.
Agama Hindu sebenarnya bukanlah agama dalam arti yang
biasa. Agama Hindu adalah suatu bidang keagamaan dan kebudayaan, yang meliputi
zaman sejak kira – kira 1500 SM.hingga zaman sekarang. Didalam perjalanannya
sepanjang abad – abad itu agama Hindu berkembang sambil berubah dan terbagi –
bagi sehingga memiliki ciri - ciri yang bermacam – macam, yang oleh penganutnya
kadang – kadang diutamakan, tetapi kadang – kadang tidak diindahkan sama
sekali. Berhubungan dengan itu Govinda Das mengatakan bahwa agama Hindu
sesungguhnya adalah suatu proses antropologis, yang hanya karena nasib yang
ironis saja diberi nama agama
II.
Rumusan
Masalah
A. Budaya
Masyarakat Jawa Pra Hindu Budha
B.
Budaya dan Kepercayaan Jawa Hindu-Budha
III.
Pembahasan
A. Budaya
Masyarakat Jawa Pra Hindu Budha
Masyarakat jawa merupakan satu kesatuan masyarakat
yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi maupun agama. Hal
ini dapat dilihat pada ciri-ciri masyarakat jawa secara kekerabatan.
Yang disebut orang jawa adalah orang yang bahasa
ibunya adalah bahasa jawa yang sebenarnya itu. Jadi orang Jawa adalah penduduk
asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa yang berbahasa Jawa.[1]
Orang Jawa terdiri dari 2 golongan social: (1) wong cilik (orang kecil), terdiri
dari sebagian besar massa
petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota, dan (2) kaum priyayi dimana termasuk kaum
pegawai dan orang – orang intelektual.[2]
Kecuali itu masih ada kelompok ketiga yang kecil tapi tetap mempunyai prestise
yang tidak cukup tinggi, yaitu kaum ningrat
(ndara), yang dalam gaya hidup dan pandangan dunia, mereka tidak
begitu berbeda dari kaum priyayi.
Semboyan
saiyeg saka paya atau gotong oyong
merupakan rangkaian hidup tolong menolong sesama warga. Kebudayaan yang mereka bangun
adalah hasil adaptasi dari alam sehingga dapat meletakkan fondasi patembayan
yang kuat dan mendasar.[3]
Sebelum
kita mempelajari tentang kepercayaan animisme dan dinamisme, terlebih dahulu kita harus mengetahui
apa perbedaan antara agama dan kepercayaan.
Ø
Agama
adalah suatu
ajaran yang menuntun umat manusia kedalam jalan kebenaran. Untuk dapat disebut
sebagai agama harus memiliki kriteria sebagai berikut:
1.
Menuntun
umatnya agar memiliki kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa
2.
Memiliki
guru besar atau disebut juga Nabi.
3.
Memiliki
suatu ajaran bagaimana untuk menuju jalan kebenaran.
4.
Memiliki
umat yang mengakui kebenaran ajarannya.
5.
Tidak
akan pudar karena waktu atau dapat dibuktikan kebenarannya karena waktu.
Ø
Kepercayaan
adalah suatu
perasaan atau keyakinan bahwa apa yang diyakini tersebut adalah benar.
Kepercayaan memiliki kriteria sebagai
berikut:
1.
Memiliki
Obyek.
2.
Bersifat
Subyektif atau Penilaian diri sendiri.
3.
Bersifat
tidak tetap.
1.
Kepercayaan
Animisme
Jawa
Ciri masyarakat jawa lainnya adalah berketuhanan.
Jawa sejak masa prasejarah telah memiliki kepercayaan Animisme, yaitu suatu
kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda – benda, tumbuh – tumbuhan,
hewan dan juga pada manusia. Kepercayaan seperti itu adalah agama mereka yang
pertama. Semua yang bergerak dianggap hidup dan memiliki kekuatan gaib / roh
yang berwatak baik maupun buruk. Mereka menyembah kepercayaannya itu dengan
jalan mengadakan upacara yang disertai dengan sesaji.[4]
Pertama, pelaksanaan upacara dilakukan
oleh masyarakat Jawa adalah agar keluarga mereka terlindung dari roh yang
jahat. Mereka maminta berkah pada roh, dan meminta pada roh jahat agar
mengganggunya. Mereka membuat beberapa monumen yang terbuat dari batu-batu
besar yang kurang halus pengerjaannya sebagai tempat pemujaan untuk memuja
nenek moyang, serta menolak perbuatan hantu yang jahat.
Kedua, tindakan keagamaan lainnya
sebagai sisa peninggalan zaman animisme adalah pemberian sesaji atau sesajen kanggo asing mbahureksa, mbahe, atau
danyang yang berdiam di pohon-pohon
beringin atau pohon besar dan telah berumur tua, disendang-sendang atau beliak, tempat mata air,
dikuburan-kuburan tuadari tokoh terkenal pada masa lampau atau tempat lainnya
yang dianggap keramat dan mengandung kekuatan gaib atau angker dan wingit atau berbahaya.
Ketiga, penanggalan Jawa yang memiliki
keanekaragaman waktu yang dikodifikasikan olehnya. Sistem penanggalan hari yang
pada pokoknya berlandaskan pada paduan tiga pekan, asing-masingnya disebut pancawarna atau pasaran, sadrawa, dan saptawara.
Nama-nama hari pancawarna dan sadwara semuanya
berasal dari Jawa, yaitu paing, pon , wage, kliwon, dan legi. Nama hari sadwara
adalah tungle, ariang, wurukung, paing rong, uwas, dan mawulu.
Pada waktu-waktu tertentu dipasang sesajen supaya roh-roh itu berkenan
kepadanya maka yang terdiri dari sekedar makanan kecil dan bunga, dalam rumah,
dikebun dan dipinggir sawah.
Ritus religious dalam masyarakat Jawa adalah slametan.
Slametan, suatu upacara makan yang terdiri atas sesajian, makanan simbolik,
sambutan resmi, dan doa, adalah peristiwa yang sangat sederhana kalau kita
menggunakan patokan kula dan potlatch;
akan tetapi upacara ini setara dalam tatanan dan kepadatan simboliknya.[5]
Bagi orang Jawa upacara
keagamaan berkaitan dengan selamatan
:
a)
Berkaitan dengan lingkaran hidup seperti
:
Ø
Selamatan bagi wanita hamil (kehamilan
bulan keempat dan kehamilan bulai ketujuh)
Ø
Selamatan bayi menurut hari kelahirannya
Ø
Upacara Tedhak Siten ( bilamana si anak
telah mencapai umur tujuh Lapan yaitu 7x35 hari)
Ø
Tetesan dan Khitanan
Ø
Ruwatan
Ø
Mencari hari baik untuk pindah rumah
b)
Berkaitan dengan hari/bulan besar Islam
c)
Berkaitan dengan kehidupan desa seperti
bersih desa, masa tanam,
d)
Berkaitan dengan kematian seseorang
• Hari Geblak ( hari
meninggalnya)
• Hari Ketiga (telung dinane)
• Hari Ketujuh
• Hari keempat puluh
• Hari keseratus
• Mendhak sepisan (satu tahun
setelah meninggal)
• Mendhak kepindo (dua tahun
sesudah meninggal)
• Mendhak
telu / nyewu (tiga tahun sesudah meninggal / hari keseribu)
Slametan
terdiri dari sekedar makan bersama menurut suatu cara atau ritus yang pasti.
Semua tetangga lelaki dekat harus diundang. Diatas nasi yang berbentuk kerucut
(nasi tumpeng) diucapkan berkat oleh modin, kemudian hadirin menyantap beberapa
suap nasi, lalu sisanya dibawa kerumah supaya istri dan anakpun memperoleh
bagiannya. Slametan dapat dimengerti sebagai ritus pemulihan keadaan slamet.
Selametan mengangkat adanya kerukunan
dan keselarasan, dan demikian keadaan ketentraman masyarakat dibaharui dan
kekuatan-kekuatan yang berbahaya dinetralisasikan. Sekalius, karena doa yang
diucapkan, roh-roh local dimasukan dalam lingkup slametan dan mereka senang
mencium sari makanan itu.
2.
Kepercayaan
Dinamisme Jawa
Dalam Ensiklopedi umum, dijumpai defenisi dinamisme
sebagai kepercayaan keagamaan primitif yang ada pada zaman sebelum kedatangan
agama Hindu di Indonesia. Dinamisme disebut juga dengan nama preanimisme, yang
mengajarkan bahwa tiap-tiap benda atau makhluk mempunyai daya dan kekuatan.
Maksud dari arti tadi adalah kesaktian dan kekuatan yang berada dalam zat suatu
benda dan diyakini mampu memberikan manfaat atau marabahaya. Kesaktian itu bisa
berasal dari api, batu-batuan, air, pepohonan, binatang, atau bahkan manusia sendiri.
Masyarakat
Jawa mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi
pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penentuan dari
kehidupan sepenuhnya.sebagai peninggalan sisa masa lalu adalah melalukan
tindakan keagamaan dengan berusaha untuk menambah kekuatan batin agar dapat
mempengaruhi kekuatan alam semesta atau jaga
gede.
Usaha
ini ditempuh dengan jalan laku prihatin
atau merasakan perih Ing batin dengan
cara cegah dahar lawan guling
(mencegah makan dan mngurangi tidur), mutih
(hanya makan makanan yang serba putih seperti nasi putih, minum air atau air
tawar), ngasrep (hanya makan makanan
dan minum minuman yang rasanya tawar atau tanpa gula dan garam), dan puasa pada
hari-hari wewaton atau hari
kelahiran.
Usaha
yang paling berat adalah melakukan pati geni,
yaitu tindakan tidak makan, tidak minum dan tidak melihat sinar apapun selama
empat puluh hari empat puluh malam. Untuk menambah kekuatan batin tersebut
menggunakan benda-benda bertuah atau berkekuatan gaib yang disebut jimat, yakni berupa keris, tombak,
songsong Jerne, batu akik, akar bahar dan kuku macan.
Penganut
kepercayaan dinamisme sering meminta tolong kepada arwah-arwah nenek moyang
untuk urusan mereka, juga terhadap arwah-arwah orang-orang yang mereka anggap
besar, dan dihormati, biasanya adalah tokoh masyarakat setempat. Mereka masih mempercayai
benda-benda pusaka yang mempunyai kekuatan gaib, seperti keris, batu hitam,
batu merah, delima dan lain-lain. Suaatu kepercayaan yang mempercayai kekuatan
abstrak yang berdiam pada suatu benda maupun tempat tertentu.
Masyarakat
Jawa penganut dinamisme percaya bahwa selain kehidupan fana ada kehidupan dunia
lain yang tidak dapat dilihat secara kasat mata. Sisi baik dari kepercayaan
dinamisme jawa adalah mereka dapat memahami konsep pluralism, sikap toleransi
dan menghormati kepercayaan lain juga keterbukaan mereka terhadap lingkungan
sekitar.
Beberapa
upacara tradisi para penganut dinamisme jawa yang masih rutin sampai saat ini
adalah larungan, perayaan tahun baru sura, tedhak siten, ruwatan dan lain-lain.
Di Kraton Yogyakarta dan Solo masih rutin diadakan upacara kirab pusaka pada
tahun baru jawa sura, sedangkan upacara larungan yang paling terkenal adalah
didaerah pesisir Cilacap.
Perbedaan
antara kepercayaan Animisme dan Dinamisme:
Aspek
|
Animisme
|
Dinamisme
|
Bahasa
|
Anima yaitu roh
|
Dunamos yaitu kekuatan atau daya
|
Pengertian
|
Kepercayaan kepada roh – roh nenek moyang
|
Kepercayaan terhadap benda yang diyakini memiliki
kekuatan gaib
|
Contoh
|
Warga nias yang percaya akan tikus yang masuk
keluar rumah merupakan jelmaan wanita yang meninggal ketika melahirkan
|
Ketika api mempunyai daya panas, maka ia akan
mempercayai bawasannya api lah yang dapat menolongnya ketika dingin, maka
mereka memyembahnya
|
Sejarah
|
Nenek moyang Indonesia hidupnya berpindah
menelusuri aliran sungai di india sampai 40 SM. Dan menetap di nusantara,
tersebar dipulau sumatera, jawa,Kalimantan dan Sulawesi, dimana nenek moyang
tidak hanya membawa barang untuk kelengkapan mereka akan tetapi mereka juga
membawa adat, tradisi, budaya ataupun kepercayaan
|
Nenek moyang Indonesia hidupnya berpindah
menelusuri aliran sungai di india sampai 40 SM. Dan menetap di nusantara,
tersebar dipulau sumatera, jawa,Kalimantan dan Sulawesi, dimana nenek moyang tidak
hanya membawa barang untuk kelengkapan mereka akan tetapi mereka juga membawa
adat, tradisi, budaya ataupun kepercayaan
|
B.
Masuknya
agama Hindu Budha
1)
Masuknya
agama Hindu yang pertama di Jawa
Terdapat
tiga petunjuk untuk mengapresiasi bagaimana persentuhan tradisi Jawa dengan
hindu atau India.
a)
Asal usul suku bangsa Jawa yang
dijelaskan oleh C. C. Berg dalam bentuk legenda tentang seseorang bernama Aji
Saka. Legenda ini menjadi simbolisme atau lambang yang dipergunakan oleh nenek
moyang orang Jawa untuk memudahkan ingatan perhitungan awal tarikh Jawa, yaitu
tarikh saka. Hitungan ini diawali dengan runtuhnya kepercayaan animisme karena
masuknya pengaruh Hindu di Jawa.
b)
Penafsiran indianisasi yang lain, ayan
kurang bersifat historis diberikan naskah Jawa abad 16, Tantu Panggelaran yang merupakan sejenis buku pertapaan-pertapaan
Hindu di Jawa. Tulisan ini menjelaskan tentang asal mula Bhatara Guru (Siva) yang pergi ke Gunung Dieng untuk
bersemedi dan meminta kepada Brahma dan Wisnu supaya Pulau Jawa diberi
penghuni.
c)
Kelanjutan dari teori mutasi perlu
dicatat bahwa banyak nama tempat di Pulau Jawa yang berasal dari bahasa
Sanskerta, yang membuktikan adanya kehendak untuk menciptakan kembali geografi
India yang dianggap keramat itu.
Agama
Hindu berkembang di India pada ± tahun 1500 SM. Ada beberapa teori masuknya agama Hindu Budha ke
Indonesia, diantaranya:
1)
Teori Brahmana
Di kemukakan oleh J.C Van Leur. Menurutnya para Brahmana sangat berperan
dalam penyebaran agaman Hindu di Indonesia. Para Brahmana diundang oleh
penguasa nusantara untuk menobatkan raja, memimpin upacara-upacara keagamaan,
dan mengajarkan ilmu pengetahuan.
2)
Teori Ksatria
Dikemukakan oleh C.C Berg. Menurutnya agama Hindu disebarkan oleh para
prajurit perang yang kalah dan melakukan migrasi ke nusantara.
3)
Teori
Waisya
Dikemukakan oleh N.J Krom. Menurutnya agama Hindu disebarkan oleh para
pedagang yang datang ke nusantara.
4)
Teori
Arus Balik
Dikemukakan oleh F.D.K Bosch. Menurutnya agama Hindu Budha dibawa oleh
para pemuda yang khusus belajar agama di India dan kemudian pulang untuk
disebarkan di nusantara.
Pada zaman ini hidup keagamaan orang Hindu
didasarkan atas Kitab-kitab yang disebut: Weda
Samhita, yang berarti pengumpulan Weda. Kata Weda berarti: pengetauan (wid
= tahu). Menurut tradisi Hindu kitab-kitab ini adalah buah ciptaan Dewa
Brahmana sendiri. Isinya diwahyukan Dewa Brahmana para pendetaana kepada para rsi atau pendeta dalam bentuk
mantera-mantera, yang kemudian disusun sebagai pujian-pujian oleh para rsi tadi
sebagai pernyataan rasa hatinya.[6]
Kitab
Weda dibagi menjadi 4 bagian atau pengumpulan (samhita), yaitu:
a.
Rg Weda, yang berisi mantera-mantera dalam bentuk puji-pujian yang dipergunakan
untuk mengundang para dewa, agar berkenaan hadir pada upacara-upacara korban
yang diadakan badi mereka. Imam-imam atau pendeta yang mengajiakan
pujian-pujian ini disebut Hotr.
b.
Sama-Weda, yang isinya hamper seluruhnya diambil ari Rg-Weda,
kecuali beberapa nyanyian. Perbedaannya dengan Rg-Weda ialah, bahwa
pujian-pujian disini diberi lagu (Sama = lagu) Imam atau pendeta yang
menyanyikan Sama-Weda disebut Ugdatr. Menyanyikannya pada waktu korban dilakukan
c.
Yajur-Weda, yang berisi yajus atau rapal, diucapkan oleh imam atau
pendata yang disebut Adwaryu, yaitu
pada saat ia melaksanakan upacara korban. Rapal-rapal itu bukan dipakai untuk
memuja para dewa, melainkan untuk merubah korban-korban menjadi makanan dewa.
Dengan perantaraan rapal-rapai itu alat-alat korban serta bahan-bahan yang
dikorbankan dipindahkan kea lam kedewataan, dihubungkan dengan para dewa,
dengan maksut supaya korban tadi dapt diterima. Dapat dikatakan, bahwa dengan
rapal-rapal itu sebenarnya para dewata dipaksa untuk memenuhikeinginan
yangberkorban. Dengan rapal-rapal itu mereka mencoba mempengaruhi para dewa,
yaitu dengan berulang-ulang menyebut nama mereka.
d.
Atharwa-Weda, yangberisi mantera-mantera sakti. Mantera-mantera ini
dihubungkan dengan bagian hidup keagamaan yang rendah, sebagai yang tampak
didalam sihir dan tenung. Isi sihir-sihir tadi dimaksudkan untuk menyembuhkan
orang-orang sakit, mengusir roh jahat, mencelakakan musuh dan sebagainya.
Upacaranya bukan dihubungkan dengan korban, melainkan dengan upacara-upacara
dirumah.
Di samping
kitab Weda, umat Hindu juga memiliki kitab suci lainnya yaitu:
a.
.Kitab
Brahmana, berisi ajaran tentang hal-hal sesaji.
b.
Kitab
Upanishad, berisi ajaran ketuhanan dan makna hidup.
Agama Hindu
menganut polytheisme (menyembah banyak dewa), diantaranya Trimurti atau “Kesatuan
Tiga Dewa Tertinggi” yaitu:
1.
.Dewa
Brahmana, sebagai dewa pencipta
2.
Dewa
Wisnu, sebagai dewa pemelihara danpelindung
3.
Dewa
Siwa, sebagai dewa perusak
Selain Dewa Trimurti, ada pula dewa yang banyak dipuja yaitu Dewa Indra pembawa
hujan yang sangat penting
untuk pertanian, serta Dewa Agni (api) yang
berguna untuk memasak dan upacara-upacara keagamaan.
Menurut agama Hindu masyarakat dibedakan menjadi 4 tingkatan atau kasta yang disebut Caturwarna yaitu:
1.
Kasta Brahmana, terdiri dari para
pendeta.
2.
Kasta Ksatria, terdiri dari raja,
keluarga raja, danbangsawan.
3.
Kasta Waisya, terdiri dari para
pedagang, danburuh menengah.
4.
Kasta Sudra, terdiri dari para petani,
buruh kecil,dan budak.
Selain 4 kasta tersebut terdapat pula golongan paria
atau candala, yaitu orang di luar kasta yang telah melanggar aturan-aturan kasta.
Orang-orang Hindu memilih tempat yang
dianggap suci misalnya, Benares sebagai tempat bersemayamnya Dewa Siwa serta
Sungai Gangga yang airnya dapat mensucikan dosa umat Hindu, sehingga bisa mencapai
pincak nirwana.
Data
peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India
ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan
lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama
Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan
India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran
agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:
a. Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini
bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci
untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.
b. Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga
menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi
Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah:
Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali
dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan,
karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.
2)
Masuknya
agama Budha
Agama Budha diajarkan oleh Sidharta
Gautama pada tahun ± 531 SM. Ayahnya seorang raja bernama Sudhodana dan ibunya
bernma Dewi Maya.
Kitab suci agama Buddha yaitu Tripittaka
artinya “Tiga Keranjang” yang ditulis dengan bahasa Poli. Adapun yang dimaksud dengan Tiga Keranjang
adalah:
1.
Winaya Pitaka, yang berisi peraturan-peraturan untuk mengatur tata
tertib sangha atau jemaat, hidup sehari-hari para bhiksu
atau bhikku ( rahib ) dan sebagainya
2.
Sutra Pitaka, yang berisi dharma (dhamma)
3.
Abhidamma Pitaka, yang berisi ajaran yang lebih mendalam mengenai
hakikat dan tujuan hidup manusia, ilmu atau pengetahuan yang membawa kepada
kelepasan dan lain sebagainya.
Selain dari
pengelompokkan kitab tersebut diatas, kitab-kitab agama Budha dapat juga dibagi
menjadi 2 bagian, yaitu:
1.
Kitab-kitab
Sutra , ialah kitab-kitab yang dipandang sebagai ucapan oleh Budha sendiri,
sekalipun kita-kitab itu ditulis berabad-abad sesudah wafat sang Budha.
2.
Sastra,
ialah uraian-uraian ditulis oleh para orang-orang tokoh ternama. Uraian-uraian
itu biasanya disusun secara sistematis. Diantaranya ada yang ditulis oleh Nagarjuna dan Wasubandhu.
Dharma
ialah doktrin atau pokok ajaran.[7]
Inti ajaran agama Budha dirumuskan didalam yang disebut: empat kebenaran yang mulia atau empat
aryasatyani, yaitu ajaran yang diajarkan Budha Gautama di Benares ia
mendapat pencerahan.
Aryasatyani terdiri dari empat kata, yaitu:
1.
Dukha, ialah penderitaan
2.
Samudaya, ialah sebab
3.
Nirodha, ialah pemadaman
4.
Marga, ialah jalan kelepasan
Pokok
ajaran Budha Gautama ialah, bahwa hidup
adalah menderita.
Pemeluk Buddha wajib melaksanakan Tri
Dharma atau“Tiga Kebaktian” yaitu:
1.
Buddha yaitu berbakti kepada Buddha.
2.
Dharma yaitu berbakti kepada
ajaran-ajaranBuddha.
Sangga yaitu berbakti kepada
pemeluk-pemeluk Buddha.
Disamping itu agar orang dapat mencapai nirwana harus mengikuti 8 (delapan) jalan kebenaran atau
Astavidha yaitu:
1.
Pandangan yang benar.
2.
Niat yang benar.
3.
Perkataan yang benar.
4.
Perbuatan yang benar.
5.
Penghidupan yang benar.
6.
Usaha yang benar.
7.
Perhatian yang benar.
8.
Bersemedi yang benar.
Karena munculnya berbagai penafsiran
dari ajaran Budha, akhirnya menumbuhkan dua aliran dalam agama Budha, yaitu:
1.
Buddha Hinayana, yaitu setiap orang
dapatmencapai nirwana atas usahanya sendiri.
2.
Buddha Mahayana, yaitu orang dapat
mencapainirwana dengan usaha bersama dan salingmembantu.
Pemeluk Buddha juga memiliki tempat-tempat yang dianggap suci dan keramat yaitu :
1.
Kapilawastu, yaitu tempat lahirnya Sang
Buddha.
2.
Bodh Gaya, yaitu tempat Sang Buddha
bersemedidan memperoleh Bodhi.
3.
Sarnath/ Benares, yaitu tempat Sang
Buddhamengajarkan ajarannya pertama kali.
4.
Kusinagara, yaitu tempat wafatnya Sang
Buddha
3)
Kepercayaan Jawa pada masa Hidu-Budha
Kakawin
sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular berisikan pesan keagamaan Yan digubah
dari boddhakawya sehingga berkesan
bahwa dia adalah seorang boddha, yang memuja istadewata atau Adhi-Budha.[8]
Masyarakat Jawa mempunyai toleransi keagamaan yang sangat besar. Walaupun Siwa
dan Budha adalah dua substansi yang berlainan, tetapi tidak mungkin keduanya
dipisahkan. Dalam praktek keagamaannya, seorang pengikut agama Siwa ataupun
Budha haruslah mengetahui kedua jalan atau yoga. Artinya seorang pendeta Budha
akan gagal kalau tidak mengetahui jalan kesiwaan, begitupula sebaliknya. Karena
jalan yang harus dilalaui untuk menyembah Hyang Agung adalah seperti jalan
menuju puncak gunung yang dapat dicapai dari segenap penjuru. Agama Hindu Budha
di Jawa ternyata lebih rukun antara satu dengan yang lain daripada di India.
4) Budaya
Jawa pada Masa Hindu-Budha
Pada
dasarnya budaya dimasa Hindu-Budha merupakan manifestasi kepercayaan Jawa
Hindu-Budha sejak datangnya Hindu-Budha di tanah Jawa. Kegiatan tersebut berupa
upacara, yang masih dapat dilihat keberadaannya hingga sekarang. Upaca tersebut
pada intinya untuk menjaga keseimbangan antara desa dan mikrokosmos, serta
menghindari goncangan yang dapat mengakibatkanturunnya kesejahteraan materiil.
Masyarakat
Jawa pada masa Hindu terbagi menjadi tiga, yaitu :
Ø Terdiri
dari kaum agamawan Hindu dan Budha yang memiliki tanah bebas pajak
Ø Keluarga
raja yang berkuasa atas para raka (penguasa) lokal dengan bantuan kaum agamawan
Ø Masyarakat
desa biasa yang dipungut pajak oleh raja dengan perantaraan mangilala drwya aji atau pemanen pajak
IV.
Kesimpulan
Masyarakat jawa
merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma – norma hidup karena
sejarah, tradisi maupun agama. Hal ini dapat dilihat pada ciri – ciri
masyarakat jawa secara kekerabatan. Semboyan saiyeg saeka praya atau gotong
royong merupakan rangkaian hidup tolong menolong sesama warga. Kebudayaan yang
mereka bangun adalah hasil adaptasi dari alam sehingga dapat meletakkan pondasi
patembayatan yang kuat dan mendasar. Ciri masyarakat jawa lainnya adalah
ketuhanan. Jawa sejak masa prasejarah telah memiliki kepercayaan Animisme,
yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda – benda, tumbuh
– tumbuhan, hewan dan juga pada manusia. Kepercayaan seperti itu adalah agama
mereka yang pertama. Semua yang bergerak dianggap hidup dan memiliki kekuatan
gaib / roh yang berwatak baik maupun buruk. Mereka menyembah kepercayaannya itu
dengan jalan mengadakan upacara yang disertai dengan sesaji. Masyarakat jawa
melakukan tindakan keagamaan dengan tujuan untuk menambah kekuatan batin agar
dapat mempengaruhi kekuatan alam semesta atau jagad gede. Kepercayaan ini disebut
juga dengan kepercayaan Dinamisme jawa.
Sejarah mencatat bahwa di jawa pernah mengalami mutasi
pertama atau disebut Indianisasi. Para ilmuwan Belanda J.L.A. Brandes ( 1975 –
1905 ), H. Kern ( 1833 – 1917 ), N.J. Krom ( 1883 – 1945 ) dan W.F. Stutterheim
( 1892 – 1942 ) menginterpretasikan masa lampau jawa berdasarkan pengetahuan
tentang India kuno. Kebudayaan yang ada dalam masyarakat jawa yang belum
berubah disebut juga dengan Cultural Survival yaitu suatu cara, kebiasaan
tradisional yang tak mengalami perubahan sejak dahulu sampai sekarang.
V.
Penutup
Demikian
makalah yang penulis buat, kami minta maaf apabila masih banyak kekurangan
dalam penulisan maupun pembahasan, penulis sadar makalah ini masih jauh dari
sempurna maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita
semua, amin.
Daftar Pustaka
Magnis Suseno, Franz, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003
Anasom dkk, Membangun
Negara Bermoral, Semarang: Pustaka Rizki Putra,2004
Amin,
MA, Drs. H. M. Darori, Islam dan
Kebudayaan Jawa,Yogyakarta: Gama Media, 2000
Beatty, Andrew, Variasi
Agama di Jawa, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001
Anasom, Merumuskan
Kembali Interelasi Islam-Jawa, Semarang: Gama Media, 2004
Hadiwijoyo, Dr. Harun, Agama Hindu dan Budha, Jakarta: Gunung Mulia, 1994
Hasan, Muhammad Tolhah, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural, Jakarta:Lantabora Press,
2005
[1] Franz Magnis Suseno, Etika Jawa,PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003 h 11
[3] Drs. H.
M. Darori Amin, MA, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta, Gama Media hal 5
[4] Ibid,
Darori Amin, hal. 5-6
[5] Variasi agama di jaw h35
[6] Dr.
Harun Hadiwijoyo, Agama Hindu dan Budha,
Jakarta: Gunung Mulia, h 17
[7] Ibid, Harun Hadiwijoyo h 66
[8] Op.cit, Darori Amin hal12