Kamis, 20 Desember 2012

Kebudayaan Pra Islam




        I.            Pendahuluan
Masyarakat Jawa merupakan orang-orang yang bertempat tinggal, bergaul, dan berkembang di pulau Jawa yang kemudian mengembangkan tradisi dan kebudayaan yang khas dan berkarakteristik Jawa. Jauh sebelum datangnya agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, bangsa Indonesia menganut kepercayaan kepada Tuhan (animisme dan dinamisme). Kepercayaan inilah yang oleh Karen Armstrong (2002) disebut monoteisme primitif, percaya kepada Tuhan yang Esa.
Menurut mereka, setiap materi memiliki kesamaan sifat dengan manusia. Sebagai contoh, api memiliki sifat yang sama dengan manusia. Api memiliki kekuatan untuk membunuh atau melenyapkan apapun dengan panasnya sebagaimana manusia mampu membunuh binatang dengan kekuatan tangannya. Karena itulah, api mempunyai ruh. Bagi manusia primitif, menyembah api adalah proses menghormati keberadaan api itu sendiri. Penyembahan tersebut dilakukan agar tidak terjadi kebakaran seperti kebakaran hutan, sedangkan kebakaran diyakini sebagai bentuk kemurkaan api. Selanjutnya, berkembanglah paham banyak tuhan, banyak roh, banyak dewa, atau banyak kekuatan ghaib. Setiap kawasan bumi, hutan, sungai, laut, atau bahkan ruang angkasa, semuanya diyakini memiliki kekuatan tersendiri
Animisme berkembang lebih awal daripada dinamisme. Animisme menitik beratkan pada perkembangan ruh manusia. Mulai dari sini, manusia primitif menyimpulkan bahwa setiap materi yang memiliki sifat yang sama, maka memiliki substansi yang sama pula. Jika manusia mati dan hidup, tidur dan terjaga, kuat dan lemah, diam dan bergerak, kemudian manusia diyakini memiliki ruh, maka pepohonan, binatang, laut, api, matahari, bulan, dan materi-materi lainnya pun memiliki ruh seperti manusia.
Agama Hindu sebenarnya bukanlah agama dalam arti yang biasa. Agama Hindu adalah suatu bidang keagamaan dan kebudayaan, yang meliputi zaman sejak kira – kira 1500 SM.hingga zaman sekarang. Didalam perjalanannya sepanjang abad – abad itu agama Hindu berkembang sambil berubah dan terbagi – bagi sehingga memiliki ciri - ciri yang bermacam – macam, yang oleh penganutnya kadang – kadang diutamakan, tetapi kadang – kadang tidak diindahkan sama sekali. Berhubungan dengan itu Govinda Das mengatakan bahwa agama Hindu sesungguhnya adalah suatu proses antropologis, yang hanya karena nasib yang ironis saja diberi nama agama

     II.            Rumusan Masalah
A.  Budaya Masyarakat Jawa Pra Hindu Budha
B.   Budaya dan Kepercayaan Jawa Hindu-Budha

   III.            Pembahasan
A.  Budaya Masyarakat Jawa Pra Hindu Budha
Masyarakat jawa merupakan satu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi maupun agama. Hal ini dapat dilihat pada ciri-ciri masyarakat jawa secara kekerabatan.
Yang disebut orang jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa jawa yang sebenarnya itu. Jadi orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa yang berbahasa Jawa.[1] Orang Jawa terdiri dari 2 golongan social: (1) wong cilik (orang kecil), terdiri dari sebagian besar massa petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota, dan (2) kaum priyayi dimana termasuk kaum pegawai dan orang – orang intelektual.[2] Kecuali itu masih ada kelompok ketiga yang kecil tapi tetap mempunyai prestise yang tidak cukup tinggi, yaitu kaum ningrat (ndara), yang dalam gaya hidup dan pandangan dunia, mereka tidak begitu berbeda dari kaum priyayi.
Semboyan saiyeg saka paya atau gotong oyong merupakan rangkaian hidup tolong menolong sesama warga. Kebudayaan yang mereka bangun adalah hasil adaptasi dari alam sehingga dapat meletakkan fondasi patembayan yang kuat dan mendasar.[3]
            Sebelum kita mempelajari tentang kepercayaan animisme dan dinamisme, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa perbedaan antara agama dan kepercayaan.
Ø Agama adalah suatu ajaran yang menuntun umat manusia kedalam jalan kebenaran. Untuk dapat disebut sebagai agama harus memiliki kriteria sebagai berikut:
1.    Menuntun umatnya agar memiliki kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa
2.    Memiliki guru besar atau disebut juga Nabi.
3.    Memiliki suatu ajaran bagaimana untuk menuju jalan kebenaran.
4.    Memiliki umat yang mengakui kebenaran ajarannya.
5.    Tidak akan pudar karena waktu atau dapat dibuktikan kebenarannya karena waktu.
Ø Kepercayaan adalah suatu perasaan atau keyakinan bahwa apa yang diyakini tersebut adalah benar. Kepercayaan memiliki kriteria sebagai berikut:
1.    Memiliki Obyek.
2.    Bersifat Subyektif atau Penilaian diri sendiri.
3.    Bersifat tidak tetap.

1.         Kepercayaan Animisme Jawa
Ciri masyarakat jawa lainnya adalah berketuhanan. Jawa sejak masa prasejarah telah memiliki kepercayaan Animisme, yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda – benda, tumbuh – tumbuhan, hewan dan juga pada manusia. Kepercayaan seperti itu adalah agama mereka yang pertama. Semua yang bergerak dianggap hidup dan memiliki kekuatan gaib / roh yang berwatak baik maupun buruk. Mereka menyembah kepercayaannya itu dengan jalan mengadakan upacara yang disertai dengan sesaji.[4]
Pertama, pelaksanaan upacara dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah agar keluarga mereka terlindung dari roh yang jahat. Mereka maminta berkah pada roh, dan meminta pada roh jahat agar mengganggunya. Mereka membuat beberapa monumen yang terbuat dari batu-batu besar yang kurang halus pengerjaannya sebagai tempat pemujaan untuk memuja nenek moyang, serta menolak perbuatan hantu yang jahat.
Kedua, tindakan keagamaan lainnya sebagai sisa peninggalan zaman animisme adalah pemberian sesaji atau sesajen kanggo asing mbahureksa, mbahe, atau danyang yang berdiam di pohon-pohon beringin atau pohon besar dan telah berumur tua, disendang-sendang atau beliak, tempat mata air, dikuburan-kuburan tuadari tokoh terkenal pada masa lampau atau tempat lainnya yang dianggap keramat dan mengandung kekuatan gaib atau angker dan wingit atau berbahaya.
Ketiga, penanggalan Jawa yang memiliki keanekaragaman waktu yang dikodifikasikan olehnya. Sistem penanggalan hari yang pada pokoknya berlandaskan pada paduan tiga pekan, asing-masingnya disebut pancawarna atau pasaran, sadrawa, dan saptawara. Nama-nama hari pancawarna dan sadwara semuanya berasal dari Jawa, yaitu paing, pon , wage, kliwon, dan legi. Nama hari sadwara adalah tungle, ariang, wurukung, paing rong, uwas, dan mawulu.
Pada waktu-waktu tertentu dipasang sesajen supaya roh-roh itu berkenan kepadanya maka yang terdiri dari sekedar makanan kecil dan bunga, dalam rumah, dikebun dan dipinggir sawah.
Ritus religious dalam masyarakat Jawa adalah slametan. Slametan, suatu upacara makan yang terdiri atas sesajian, makanan simbolik, sambutan resmi, dan doa, adalah peristiwa yang sangat sederhana kalau kita menggunakan patokan kula  dan potlatch; akan tetapi upacara ini setara dalam tatanan dan kepadatan simboliknya.[5]
Bagi orang Jawa upacara keagamaan berkaitan dengan selamatan :
a)   Berkaitan dengan lingkaran hidup seperti :
Ø  Selamatan bagi wanita hamil (kehamilan bulan keempat dan kehamilan bulai ketujuh)
Ø  Selamatan bayi menurut hari kelahirannya
Ø  Upacara Tedhak Siten ( bilamana si anak telah mencapai umur tujuh Lapan yaitu 7x35 hari)
Ø  Tetesan dan Khitanan
Ø  Ruwatan
Ø  Mencari hari baik untuk pindah rumah
b)   Berkaitan dengan hari/bulan besar Islam
c)   Berkaitan dengan kehidupan desa seperti bersih desa, masa tanam,

d)   Berkaitan dengan kematian seseorang
•      Hari Geblak ( hari meninggalnya)
•      Hari Ketiga (telung dinane)
•      Hari Ketujuh
•      Hari keempat puluh
•      Hari keseratus
•      Mendhak sepisan (satu tahun setelah meninggal)
•      Mendhak kepindo (dua tahun sesudah meninggal)
•      Mendhak telu / nyewu (tiga tahun sesudah meninggal / hari keseribu)
Slametan terdiri dari sekedar makan bersama menurut suatu cara atau ritus yang pasti. Semua tetangga lelaki dekat harus diundang. Diatas nasi yang berbentuk kerucut (nasi tumpeng) diucapkan berkat oleh modin, kemudian hadirin menyantap beberapa suap nasi, lalu sisanya dibawa kerumah supaya istri dan anakpun memperoleh bagiannya. Slametan dapat dimengerti sebagai ritus pemulihan keadaan slamet. Selametan  mengangkat adanya kerukunan dan keselarasan, dan demikian keadaan ketentraman masyarakat dibaharui dan kekuatan-kekuatan yang berbahaya dinetralisasikan. Sekalius, karena doa yang diucapkan, roh-roh local dimasukan dalam lingkup slametan dan mereka senang mencium sari makanan itu.

2.    Kepercayaan Dinamisme Jawa
Dalam Ensiklopedi umum, dijumpai defenisi dinamisme sebagai kepercayaan keagamaan primitif yang ada pada zaman sebelum kedatangan agama Hindu di Indonesia. Dinamisme disebut juga dengan nama preanimisme, yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda atau makhluk mempunyai daya dan kekuatan. Maksud dari arti tadi adalah kesaktian dan kekuatan yang berada dalam zat suatu benda dan diyakini mampu memberikan manfaat atau marabahaya. Kesaktian itu bisa berasal dari api, batu-batuan, air, pepohonan, binatang, atau bahkan manusia sendiri.
Masyarakat Jawa mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penentuan dari kehidupan sepenuhnya.sebagai peninggalan sisa masa lalu adalah melalukan tindakan keagamaan dengan berusaha untuk menambah kekuatan batin agar dapat mempengaruhi kekuatan alam semesta atau jaga gede.
Usaha ini ditempuh dengan jalan laku prihatin atau merasakan perih Ing batin dengan cara cegah dahar lawan guling (mencegah makan dan mngurangi tidur), mutih (hanya makan makanan yang serba putih seperti nasi putih, minum air atau air tawar), ngasrep (hanya makan makanan dan minum minuman yang rasanya tawar atau tanpa gula dan garam), dan puasa pada hari-hari wewaton atau hari kelahiran.
Usaha yang paling berat adalah melakukan pati geni, yaitu tindakan tidak makan, tidak minum dan tidak melihat sinar apapun selama empat puluh hari empat puluh malam. Untuk menambah kekuatan batin tersebut menggunakan benda-benda bertuah atau berkekuatan gaib yang disebut jimat, yakni berupa keris, tombak, songsong Jerne, batu akik, akar bahar dan kuku macan.
Penganut kepercayaan dinamisme sering meminta tolong kepada arwah-arwah nenek moyang untuk urusan mereka, juga terhadap arwah-arwah orang-orang yang mereka anggap besar, dan dihormati, biasanya adalah tokoh masyarakat setempat. Mereka masih mempercayai benda-benda pusaka yang mempunyai kekuatan gaib, seperti keris, batu hitam, batu merah, delima dan lain-lain. Suaatu kepercayaan yang mempercayai kekuatan abstrak yang berdiam pada suatu benda maupun tempat tertentu.
Masyarakat Jawa penganut dinamisme percaya bahwa selain kehidupan fana ada kehidupan dunia lain yang tidak dapat dilihat secara kasat mata. Sisi baik dari kepercayaan dinamisme jawa adalah mereka dapat memahami konsep pluralism, sikap toleransi dan menghormati kepercayaan lain juga keterbukaan mereka terhadap lingkungan sekitar.
     Beberapa upacara tradisi para penganut dinamisme jawa yang masih rutin sampai saat ini adalah larungan, perayaan tahun baru sura, tedhak siten, ruwatan dan lain-lain. Di Kraton Yogyakarta dan Solo masih rutin diadakan upacara kirab pusaka pada tahun baru jawa sura, sedangkan upacara larungan yang paling terkenal adalah didaerah pesisir Cilacap.

Perbedaan antara kepercayaan Animisme dan Dinamisme:
Aspek
Animisme
Dinamisme
Bahasa
Anima yaitu roh
Dunamos yaitu kekuatan atau daya
Pengertian
Kepercayaan kepada roh – roh nenek moyang
Kepercayaan terhadap benda yang diyakini memiliki kekuatan gaib
Contoh
Warga nias yang percaya akan tikus yang masuk keluar rumah merupakan jelmaan wanita yang meninggal ketika melahirkan
Ketika api mempunyai daya panas, maka ia akan mempercayai bawasannya api lah yang dapat menolongnya ketika dingin, maka mereka memyembahnya
Sejarah
Nenek moyang Indonesia hidupnya berpindah menelusuri aliran sungai di india sampai 40 SM. Dan menetap di nusantara, tersebar dipulau sumatera, jawa,Kalimantan dan Sulawesi, dimana nenek moyang tidak hanya membawa barang untuk kelengkapan mereka akan tetapi mereka juga membawa adat, tradisi, budaya ataupun kepercayaan
Nenek moyang Indonesia hidupnya berpindah menelusuri aliran sungai di india sampai 40 SM. Dan menetap di nusantara, tersebar dipulau sumatera, jawa,Kalimantan dan Sulawesi, dimana nenek moyang tidak hanya membawa barang untuk kelengkapan mereka akan tetapi mereka juga membawa adat, tradisi, budaya ataupun kepercayaan

B.     Masuknya agama Hindu Budha
1)      Masuknya agama Hindu yang pertama di Jawa
Terdapat tiga petunjuk untuk mengapresiasi bagaimana persentuhan tradisi Jawa dengan hindu atau India.
a)      Asal usul suku bangsa Jawa yang dijelaskan oleh C. C. Berg dalam bentuk legenda tentang seseorang bernama Aji Saka. Legenda ini menjadi simbolisme atau lambang yang dipergunakan oleh nenek moyang orang Jawa untuk memudahkan ingatan perhitungan awal tarikh Jawa, yaitu tarikh saka. Hitungan ini diawali dengan runtuhnya kepercayaan animisme karena masuknya pengaruh Hindu di Jawa.
b)      Penafsiran indianisasi yang lain, ayan kurang bersifat historis diberikan naskah Jawa abad 16, Tantu Panggelaran yang merupakan sejenis buku pertapaan-pertapaan Hindu di Jawa. Tulisan ini menjelaskan tentang asal mula Bhatara Guru (Siva) yang pergi ke Gunung Dieng untuk bersemedi dan meminta kepada Brahma dan Wisnu supaya Pulau Jawa diberi penghuni.
c)      Kelanjutan dari teori mutasi perlu dicatat bahwa banyak nama tempat di Pulau Jawa yang berasal dari bahasa Sanskerta, yang membuktikan adanya kehendak untuk menciptakan kembali geografi India yang dianggap keramat itu.
Agama Hindu berkembang di India pada ± tahun 1500 SM. Ada beberapa teori masuknya agama Hindu Budha ke Indonesia, diantaranya:
1)       Teori Brahmana
Di kemukakan oleh J.C Van Leur. Menurutnya para Brahmana sangat berperan dalam penyebaran agaman Hindu di Indonesia. Para Brahmana diundang oleh penguasa nusantara untuk menobatkan raja, memimpin upacara-upacara keagamaan, dan mengajarkan ilmu pengetahuan.
2)       Teori Ksatria
Dikemukakan oleh C.C Berg. Menurutnya agama Hindu disebarkan oleh para prajurit perang yang kalah dan melakukan migrasi ke nusantara.
3)      Teori Waisya
Dikemukakan oleh N.J Krom. Menurutnya agama Hindu disebarkan oleh para pedagang yang datang ke nusantara.
4)      Teori Arus Balik
Dikemukakan oleh F.D.K Bosch. Menurutnya agama Hindu Budha dibawa oleh para pemuda yang khusus belajar agama di India dan kemudian pulang untuk disebarkan di nusantara.
     Pada zaman ini hidup keagamaan orang Hindu didasarkan atas Kitab-kitab yang disebut: Weda Samhita, yang berarti pengumpulan Weda. Kata Weda berarti: pengetauan (wid = tahu). Menurut tradisi Hindu kitab-kitab ini adalah buah ciptaan Dewa Brahmana sendiri. Isinya diwahyukan Dewa Brahmana para pendetaana kepada para rsi atau pendeta dalam bentuk mantera-mantera, yang kemudian disusun sebagai pujian-pujian oleh para rsi tadi sebagai pernyataan rasa hatinya.[6]
                                                Kitab Weda dibagi menjadi 4 bagian atau pengumpulan (samhita), yaitu:
a.       Rg Weda, yang berisi mantera-mantera dalam bentuk puji-pujian yang dipergunakan untuk mengundang para dewa, agar berkenaan hadir pada upacara-upacara korban yang diadakan badi mereka. Imam-imam atau pendeta yang mengajiakan pujian-pujian ini disebut Hotr.
b.      Sama-Weda, yang isinya hamper seluruhnya diambil ari Rg-Weda, kecuali beberapa nyanyian. Perbedaannya dengan Rg-Weda ialah, bahwa pujian-pujian disini diberi lagu (Sama = lagu) Imam atau pendeta yang menyanyikan Sama-Weda disebut Ugdatr.  Menyanyikannya pada waktu korban dilakukan
c.       Yajur-Weda, yang berisi yajus atau rapal, diucapkan oleh imam atau pendata yang disebut Adwaryu, yaitu pada saat ia melaksanakan upacara korban. Rapal-rapal itu bukan dipakai untuk memuja para dewa, melainkan untuk merubah korban-korban menjadi makanan dewa. Dengan perantaraan rapal-rapai itu alat-alat korban serta bahan-bahan yang dikorbankan dipindahkan kea lam kedewataan, dihubungkan dengan para dewa, dengan maksut supaya korban tadi dapt diterima. Dapat dikatakan, bahwa dengan rapal-rapal itu sebenarnya para dewata dipaksa untuk memenuhikeinginan yangberkorban. Dengan rapal-rapal itu mereka mencoba mempengaruhi para dewa, yaitu dengan berulang-ulang menyebut nama mereka.
d.      Atharwa-Weda, yangberisi mantera-mantera sakti. Mantera-mantera ini dihubungkan dengan bagian hidup keagamaan yang rendah, sebagai yang tampak didalam sihir dan tenung. Isi sihir-sihir tadi dimaksudkan untuk menyembuhkan orang-orang sakit, mengusir roh jahat, mencelakakan musuh dan sebagainya. Upacaranya bukan dihubungkan dengan korban, melainkan dengan upacara-upacara dirumah.
Di samping kitab Weda, umat Hindu juga memiliki kitab suci lainnya yaitu:
a.       .Kitab Brahmana, berisi ajaran tentang hal-hal sesaji.
b.      Kitab Upanishad, berisi ajaran ketuhanan dan makna hidup.
Agama Hindu menganut polytheisme (menyembah banyak dewa), diantaranya Trimurti atau “Kesatuan Tiga Dewa Tertinggi” yaitu:
1.      .Dewa Brahmana, sebagai dewa pencipta
2.      Dewa Wisnu, sebagai dewa pemelihara danpelindung
3.      Dewa Siwa, sebagai dewa perusak
Selain Dewa Trimurti, ada pula dewa yang banyak dipuja yaitu Dewa Indra pembawa hujan yang sangat penting untuk pertanian, serta Dewa Agni (api) yang berguna untuk memasak dan upacara-upacara keagamaan. 
Menurut agama Hindu masyarakat dibedakan menjadi 4 tingkatan atau kasta yang disebut Caturwarna yaitu:
1.      Kasta Brahmana, terdiri dari para pendeta.
2.      Kasta Ksatria, terdiri dari raja, keluarga raja, danbangsawan.
3.      Kasta Waisya, terdiri dari para pedagang, danburuh menengah.
4.      Kasta Sudra, terdiri dari para petani, buruh kecil,dan budak.
Selain 4 kasta tersebut terdapat pula golongan paria atau candala, yaitu orang di luar kasta yang telah melanggar aturan-aturan kasta.
Orang-orang Hindu memilih tempat yang dianggap suci misalnya, Benares sebagai tempat bersemayamnya Dewa Siwa serta Sungai Gangga yang airnya dapat mensucikan dosa umat Hindu, sehingga bisa mencapai pincak nirwana.
Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:
a. Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.
b. Prasasti Porong (Jawa Tengah)
   Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.
2)      Masuknya agama Budha
Agama Budha diajarkan oleh Sidharta Gautama pada tahun ± 531 SM. Ayahnya seorang raja bernama Sudhodana dan ibunya bernma Dewi Maya.
Kitab suci agama Buddha yaitu Tripittaka artinya “Tiga Keranjang” yang ditulis dengan bahasa Poli. Adapun yang dimaksud dengan Tiga Keranjang adalah:
1.      Winaya Pitaka, yang berisi peraturan-peraturan untuk mengatur tata tertib sangha  atau jemaat, hidup sehari-hari para bhiksu atau bhikku ( rahib ) dan sebagainya
2.      Sutra Pitaka, yang berisi dharma (dhamma)
3.      Abhidamma Pitaka, yang berisi ajaran yang lebih mendalam mengenai hakikat dan tujuan hidup manusia, ilmu atau pengetahuan yang membawa kepada kelepasan dan lain sebagainya.
Selain dari pengelompokkan kitab tersebut diatas, kitab-kitab agama Budha dapat juga dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
1.      Kitab-kitab Sutra , ialah kitab-kitab yang dipandang sebagai ucapan oleh Budha sendiri, sekalipun kita-kitab itu ditulis berabad-abad sesudah wafat sang Budha.
2.      Sastra, ialah uraian-uraian ditulis oleh para orang-orang tokoh ternama. Uraian-uraian itu biasanya disusun secara sistematis. Diantaranya ada yang ditulis oleh Nagarjuna  dan Wasubandhu.
Dharma ialah doktrin atau pokok ajaran.[7] Inti ajaran agama Budha dirumuskan didalam yang disebut: empat kebenaran yang mulia atau empat aryasatyani, yaitu ajaran yang diajarkan Budha Gautama di Benares ia mendapat pencerahan.
Aryasatyani terdiri dari empat kata, yaitu:
1.      Dukha, ialah penderitaan
2.      Samudaya, ialah sebab
3.      Nirodha, ialah pemadaman
4.      Marga, ialah jalan kelepasan
Pokok ajaran Budha Gautama ialah, bahwa hidup adalah menderita.
Pemeluk Buddha wajib melaksanakan Tri Dharma atau“Tiga Kebaktian” yaitu:
1.                   Buddha yaitu berbakti kepada Buddha.
2.                   Dharma yaitu berbakti kepada ajaran-ajaranBuddha.
Sangga yaitu berbakti kepada pemeluk-pemeluk Buddha. Disamping itu agar orang dapat mencapai nirwana harus mengikuti 8 (delapan) jalan kebenaran atau Astavidha yaitu:
1.              Pandangan yang benar.
2.              Niat yang benar.
3.              Perkataan yang benar.
4.              Perbuatan yang benar.
5.              Penghidupan yang benar.
6.              Usaha yang benar.
7.              Perhatian yang benar.
8.              Bersemedi yang benar.
Karena munculnya berbagai penafsiran dari ajaran Budha, akhirnya menumbuhkan dua aliran dalam agama Budha, yaitu:
1.      Buddha Hinayana, yaitu setiap orang dapatmencapai nirwana atas usahanya sendiri.
2.      Buddha Mahayana, yaitu orang dapat mencapainirwana dengan usaha bersama dan salingmembantu.
Pemeluk Buddha juga memiliki tempat-tempat yang dianggap suci dan keramat yaitu :
1.      Kapilawastu, yaitu tempat lahirnya Sang Buddha.
2.      Bodh Gaya, yaitu tempat Sang Buddha bersemedidan memperoleh Bodhi.
3.      Sarnath/ Benares, yaitu tempat Sang Buddhamengajarkan ajarannya pertama kali.
4.      Kusinagara, yaitu tempat wafatnya Sang Buddha

3)   Kepercayaan Jawa pada masa Hidu-Budha
Kakawin sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular berisikan pesan keagamaan Yan digubah dari boddhakawya sehingga berkesan bahwa dia adalah seorang boddha, yang memuja istadewata atau Adhi-Budha.[8] Masyarakat Jawa mempunyai toleransi keagamaan yang sangat besar. Walaupun Siwa dan Budha adalah dua substansi yang berlainan, tetapi tidak mungkin keduanya dipisahkan. Dalam praktek keagamaannya, seorang pengikut agama Siwa ataupun Budha haruslah mengetahui kedua jalan atau yoga. Artinya seorang pendeta Budha akan gagal kalau tidak mengetahui jalan kesiwaan, begitupula sebaliknya. Karena jalan yang harus dilalaui untuk menyembah Hyang Agung adalah seperti jalan menuju puncak gunung yang dapat dicapai dari segenap penjuru. Agama Hindu Budha di Jawa ternyata lebih rukun antara satu dengan yang lain daripada di India.
4)    Budaya Jawa pada Masa Hindu-Budha
Pada dasarnya budaya dimasa Hindu-Budha merupakan manifestasi kepercayaan Jawa Hindu-Budha sejak datangnya Hindu-Budha di tanah Jawa. Kegiatan tersebut berupa upacara, yang masih dapat dilihat keberadaannya hingga sekarang. Upaca tersebut pada intinya untuk menjaga keseimbangan antara desa dan mikrokosmos, serta menghindari goncangan yang dapat mengakibatkanturunnya kesejahteraan materiil.
Masyarakat Jawa pada masa Hindu terbagi menjadi tiga, yaitu :
Ø  Terdiri dari kaum agamawan Hindu dan Budha yang memiliki tanah bebas pajak
Ø  Keluarga raja yang berkuasa atas para raka (penguasa) lokal dengan bantuan kaum agamawan
Ø  Masyarakat desa biasa yang dipungut pajak oleh raja dengan perantaraan mangilala drwya aji atau pemanen pajak

  IV.            Kesimpulan
Masyarakat jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma – norma hidup karena sejarah, tradisi maupun agama. Hal ini dapat dilihat pada ciri – ciri masyarakat jawa secara kekerabatan. Semboyan saiyeg saeka praya atau gotong royong merupakan rangkaian hidup tolong menolong sesama warga. Kebudayaan yang mereka bangun adalah hasil adaptasi dari alam sehingga dapat meletakkan pondasi patembayatan yang kuat dan mendasar. Ciri masyarakat jawa lainnya adalah ketuhanan. Jawa sejak masa prasejarah telah memiliki kepercayaan Animisme, yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda – benda, tumbuh – tumbuhan, hewan dan juga pada manusia. Kepercayaan seperti itu adalah agama mereka yang pertama. Semua yang bergerak dianggap hidup dan memiliki kekuatan gaib / roh yang berwatak baik maupun buruk. Mereka menyembah kepercayaannya itu dengan jalan mengadakan upacara yang disertai dengan sesaji. Masyarakat jawa melakukan tindakan keagamaan dengan tujuan untuk menambah kekuatan batin agar dapat mempengaruhi kekuatan alam semesta atau jagad gede. Kepercayaan ini disebut juga dengan kepercayaan Dinamisme jawa.
Sejarah mencatat bahwa di jawa pernah mengalami mutasi pertama atau disebut Indianisasi. Para ilmuwan Belanda J.L.A. Brandes ( 1975 – 1905 ), H. Kern ( 1833 – 1917 ), N.J. Krom ( 1883 – 1945 ) dan W.F. Stutterheim ( 1892 – 1942 ) menginterpretasikan masa lampau jawa berdasarkan pengetahuan tentang India kuno. Kebudayaan yang ada dalam masyarakat jawa yang belum berubah disebut juga dengan Cultural Survival yaitu suatu cara, kebiasaan tradisional yang tak mengalami perubahan sejak dahulu sampai sekarang.

     V.            Penutup

Demikian makalah yang penulis buat, kami minta maaf apabila masih banyak kekurangan dalam penulisan maupun pembahasan, penulis sadar makalah ini masih jauh dari sempurna maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua, amin.




Daftar Pustaka

Magnis Suseno, Franz, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003
Anasom dkk, Membangun Negara Bermoral, Semarang: Pustaka Rizki Putra,2004
Amin, MA, Drs. H. M. Darori, Islam dan Kebudayaan Jawa,Yogyakarta: Gama Media, 2000
Beatty, Andrew, Variasi Agama di Jawa, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001
Anasom, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Semarang: Gama Media, 2004
Hadiwijoyo, Dr. Harun, Agama Hindu dan Budha, Jakarta: Gunung Mulia, 1994
Hasan, Muhammad Tolhah, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural, Jakarta:Lantabora Press, 2005


[1] Franz Magnis Suseno, Etika Jawa,PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003 h 11
[2] Ibid, h 12
[3] Drs. H. M. Darori Amin, MA, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta, Gama Media hal 5
[4] Ibid, Darori Amin, hal. 5-6
[5] Variasi agama di jaw h35
[6] Dr. Harun Hadiwijoyo, Agama Hindu dan Budha, Jakarta: Gunung Mulia, h 17
[7] Ibid, Harun Hadiwijoyo h 66
[8] Op.cit, Darori Amin hal12

1 komentar: